Beruntungnya kita, rakyat Indonesia, pada suatu masa pernah memiliki presiden seperti Abdurrahman Wahid. Sikap tegasnya terhadap pluralisme membuat kita belajar memahami bahwa rakyat Indonesia memang pluralis dan juga belajar menghargai perbedaan.
Jasa Gus Dur yang tak terlupakan adalah keputusannya mencabut PP No 14 Tahun 1967 yang berisi larangan atau pembekuan kegiatan-kegiatan warga Tionghoa. Ketika PP tersebut masih berlaku, peribadatan umat Konghucu dan aktivitas-aktivitasnya harus dipendam. Umat harus sembunyi-sembunyi untuk berdoa di kelenteng.
Setelah lengser dari jabatan presiden, ia tetap tegas memperjuangkan prinsip-prinsip pluralitas. Saat Ahmadyah ditolak dimana-mana, Gus Dur mengatakan bahwa umat Ahmadyah harus dilindungi. “Jika Indonesia tidak lagi melindungi kebebasan beragama, maka negara kita ibarat memiliki UUD 1945 tetapi tidak mempunyai gigi dan negara kita tidak mempunyai dasar sama sekali.”
Mengapa banyak orang yang menolak pluralisme? Menurut Gus Dur, ini akibat ketidaktahuan mereka atas sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Tradisi menghargai perbedaan sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya hingga ke Jawa sebelum bangsa Indonesia berdiri. Bahkan pada masa Kerajaan Majapahit, muncul semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Prinsip yang dipopulerkan oleh Mpu tantular ini tetap digunakan oleh bangsa Indonesia sampai sekarang.
Lalu bagaimana menghadapi masalah pluralisme ini? Gus Dur memiliki solusinya, yaitu bangsa Indonesia harus membangun batasan bersama. Batasan itu adalah sikap menghargai pluralisme, termasuk saat membahas Undang-undang Dasar negara. Karena batasan ini tidak pernah dibicarakan maka terus muncul konflik antar kelompok, yaitu antara kelompok yang menganggap dirinya paling benar dengan kelompok yang menganggap bahwa Indonesia merupakan kesatuan dari sejumlah pandangan yang berbeda. Namun bagaimanapun sulitnya, perbedaan itu tetap harus didialogkan agar setiap orang belajar bertenggang rasa.
Terima kasih Gus atas pemikiran-pemikiran yang menyuarakan perdamaian di tengah-tengah situasi dimana perbedaan selalu dijadikan alasan perpecahan. Semoga pada suatu masa Indonesia bisa memiliki sikap menghargai perbedaan dan perbedaan tidak lagi dijadikan alat politik untuk memecah belah.
Pergilah dalam damai, Gus. Biarkan kami tetap berjuang untuk perdamaian.
Foto: caktips.wordpress.com