Archive for the 'Layar Tancep' Category

08
Mei
10

negeri pelangi untuk nelson mandela

Menonton Invictus, seperti larut dalam sorak-sorai penonton dan penduduk Afrika Selatan saat merayakan kemenangan Springboks, tim rugby mereka, melawan tim Selandia Baru di final World Cup Championship tahun 1995.

Sebuah film yang luar biasa indah, berdasarkan buku karya John Carlin, Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game That Changed a Nation. Clint Eastwood, sang sutradara, mampu merajut bagian-bagian dari film ini menjadi tontonan yang tidak saja menarik, tidak membosankan, menggairahkan, namun juga inspiratif.

Inspirasi itu berasal dari seorang mantan presiden Afrika Selatan yang menjadi narapidana politik selama tiga puluh tahun. Seorang Nelson Mandela, yang diperankan oleh Morgan Freeman. Setelah terpilih menjadi presiden, Madiba, panggilan orang Afrika Selatan untuk Mandela,menghadapi negara yang masih tersekat-sekat perbedaan ras. Ia lalu berjuang agar negerinya tidak hancur karena berlanjutnya politik apartheid, dan aksi balas dendam penduduk asli Afrika terhadap warganegara kulit putih yang telah memperlakukan mereka dengan sangat tidak manusiawi.

Madiba ingin mewujudkan Afrika Selatan menjadi negeri pelangi. Negeri yang didukung oleh semua warganegaranya yang berbeda warna kulit, sehingga mereka dapat bekerja bersama membangun negeri. Tentu saja ia diprotes oleh hanpir semua orang di dekatnya, para staf kepresidenan, bahkan oleh anaknya sendiri. Namun ia tidak surut. Ia memasukkan empat pengawal presiden berkulit putih, yang dulu mengawal presiden de Klerk. Kepada kepala pengamanan presiden, ia mengatakan bahwa sekarang orang kulit putih merasa takut hidup mereka terancam, karena itu mari kita memberi kejutan kepada mereka, bahwa kita tidak sama dengan mereka. Begitulah kira-kira. Ia tidak mengajarkan darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Ia tidak memanfaatkan perbedaan warna kulit untuk mengadu domba rakyatnya demi kepentingan politik atau mendapatkan kekuasaan. Ia terfokus pada bagaimana mengubah sikap apartheid rakyatnya, baik kulit hitam maupun kulit putih. Bukan dengan kekerasan, kawan. Tetapi dengan menghargai mereka. Sikap yang luar biasa setelah orang kulit putih memenjarakannya selama tiga puluh tahun.

Langkah cerdas Mandiba adalah menghapuskan apartheid melalui rugby. Ia percaya, olahraga adalah sebuah bahasa universal. Mayoritas anggota tim rugby Afrika Selatan ini terdiri dari orang kulit putih, dan muncul desakan agar anggota tim diganti dengan penduduk asli. Namun Mandiba tidak setuju dan justru memberi semangat kepada tim ini untuk maju terus, memenangkan Afrika. Ia datang ke stadion untuk menyapa mereka satu per satu. Ia memanggil kapten tim Springkboks, François Pienaar, yang diperankan oleh Matt Damon, untuk memberi inspirasi kepada tim-nya, dan memenangkan pertandingan. Mandiba “memerintahkan” tim Springboks mengajari anak-anak kulit hitam, bermain rugby. Sebuah pemandangan langka pada masa itu, kulit putih dan kulit hitam bermain bersama, larut dalam gelak tawa. Sekat itu mulai terbuka.

François Pienaar sangat terinspirasi dengan sikap Mandiba. Ia lalu mengajak tim-nya mengunjungi bekas penjara yang telah memenjarakan ribuan orang kulit hitam, termasuk Nelson Mandela. Ia tidak habis pikir, bagaimana orang yang dipenjarakan selama tiga puluh tahun oleh orang kulit putih di sel yang sempit, berbicara tentang pengampunan. Ini kian memicu rasa nasiolisme-nya yang ia tularkan pada teman-temannya satu tim. Ia juga memberikan empat tiket untuk menonton pertandingan final, untuk ayah, ibu, pacarnya, dan pembantu ibunya yang berkulit hitam. Ibu dan pembantu kulit hitamnya duduk berdampingan di stadion menonton pertandingan itu. Sebuah sekat lagi terbuka.

Kemenangan demi kemenangan diraih Springboks. Dan puncaknya pada final World Cup Champion tahun 1995. Semua penduduk Afrika Selatan menonton pertandingan itu. Kulit hitam, kulit putih, kulit berwarna. Mereka duduk bersama, mereka menari bersama di jalan-jalan saat merayakan kemenangan Springboks.

Sebenarnya, perayaan ini tidak sekadar perayaan kemenangan tim rugby mereka. Namun perayaan kemenangan Negeri Pelangi yang sedang berjuang menghapuskan apartheid.

Satu hal lagi yang perlu dicatat tentang Nelson Mandela. Ia mengampuni, namun tidak melupakan. Afrika Selatan memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsialisasi yang dibentuk pada tahun 1995. Semua korban pelanggaran HAM boleh datang dan memberikan testimoni kepada komisi ini. Selain melakukan investigasi, KKR juga memulihkan harga diri korban dan melakukan rehabilitasi. Semua pelaku kejahatan HAM, diproses tanpa pandang bulu, apakah warganegara biasa, polisi, maupun anggota partai yang berkuasa pada saat itu, African National Congress. Ada pelaku yang diberi amnesti, namun lebih banyak pula yang diproses secara hukum.

Saya bermimpi, suatu hari nanti, Indonesia akan memiliki seorang pemimpin yang inspiratif seperti Nelson Mandela. Berani melakukan hal yang benar meski mendapat tentangan dari berbagai pihak. Berani menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Berani menghargai perbedaan. Berani menyadari negeri kita adalah negeri plural dan multikultural. Berani mengungkap kebenaran. Dan berani bertindak.

15
Jun
09

the secret life of bees

beesSeorang teman dari New Mexico pernah menyarankan agar saya membaca buku The Secret Life of Bees. Dia bilang buku ini bagus sekali dan saya pasti suka. Entah mengapa sampai sekarang saya belum membelinya. Namun beberapa hari yang lalu, saya tiba-tiba tertarik untuk membeli DVD-nya. Dan memang, film yang beredar sekitar Oktober 2008 ini menarik sekali. Berdasarkan buku karya Sue Monk Kidd tersebut, sutradara Gina Prince-Bythewood menghidupkan tokoh Lily di tengah-tengah rasialisme dan peternakan lebah.

Lily Owens (Dakota Fanning), gadis berumur 14 tahun hidup bersama ayahnya, T. Ray (Paul Bettany) yang kasar dan suka menghukum, dan juga pengasuhnya yang berkulit hitam, Rosaleen (Jennifer Hudson). Lily hidup dalam bayang-bayang kematian ibunya saat ia masih berumur empat tahun. Tanpa sengaja senjata api meletus di tangannya dan menewaskan ibunya. Rasa bersalah terus mengejar di tengah kerinduannya pada ibunya. Walaupun ayahnya selalu mengatakan bahwa ibunya-lah yang meninggalkannya.

Kisah Lily mengambil setting South Carolina pada tahun 1964, ketika Presiden AS sat itu, Lyndon Johnson, menandatangani The Civil Rights Act, yang memberikan hak-hak sipil untuk orang kulit hitam, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu.

Suatu hari Rosaleen mengajak Lily ke kota setelah kedua lututnya luka karena dihukum ayahnya. Rosaleen ingin mendaftar sebagai pemilih. Lily agak khawatir karena di Missisipi ada seorang pria kulit hitam yang dibunuh karena mencoba mendaftar sebagai pemilih. Dan benar saja, di jalan mereka dicegat oleh tiga orang pria yang mengejek Rosaleen. Kemarahan Rosaleen memancing kemarahan yang lebih ganas sehingga ia dipukuli dan ditahan. Lily lalu diam-diam menyelamatkan Rosaleen dan mengajaknya melarikan diri ke Tiburon, sebuah kota yang tertera di balik foto ibunya yang ia simpan di dalam kaleng bersama selembar gambar Black Madonna (Maria, ibu Yesus, yang berkulit hitam). Lily sekaligus ingin mencari tahu tentang ibunya.

Perjalanan mereka sampai di sebuah rumah pink yang tampak nyaman. Mereka lalu meminta ijin menginap dan bekerja di situ. Itulah rumah Boatwright bersaudara: August (Queen Latifah), June (Alicia Keys), dan May (Sophie Okonedo). Mereka hidup dari beternak lebah madu, dan menjual madunyanya dalam botol berlabel Black Madonna.

Lily merasa nyaman tinggal di sini. Ia merasa diterima dengan baik di tengah-tengah keluarga berkulit hitam ini. Ia belajar tentang lebah madu dari August. Lebah, yang terkenal suka menyengat, tidak akan menyakiti kalau dicintai. Semua mahkluk senang dicintai. Dan memang di sini-lah ia akhirnya menemukan cinta.

Lily menemukan cinta pertamanya dengan Zach, yang juga membantu Lily mengurus peternakan tersebut. Seorang remaja yang bercita-cita menjadi pengacara. “Mengapa kami hanya boleh ada di bidang olahraga?” tanya Zach. Namun ia mulai memikirkan kembali cita-citanya setelah peristiwa buruk di bioskop. Untuk menghibur Lily yang sedih karena mengira ibunya tidak menyayanginya, Zach mengajaknya nonton. Mereka masuk sendiri-sendiri karena tempat untuk kulit putih dan kulit hitam dipisahkan. Namun setelah sampai di dalam, Zach duduk bersama Lily. Di tengah-tengah pertunjukan, Zach ditangkap dan dipukuli. Dan Lily dihardik karena menjadi pencinta nigger (orang negro). Malam itu Zach tidak pulang. Seisi rumah cemas, jangan-jangan mereka tidak akan bertemu Zach lagi. Kesedihan yang mendalam melanda May, gadis yang paling sensitif karena kembarannya, April, meninggal bertahun-tahun sebelumnya. Ia gampang menangis sehingga August mempunyai ide untuk membuat dinding dari tumpukan batu, tempat May dapat mencurahkan isi hatinya. Di sela-sela batu itu terdapat lipatan-lipatan kertas yang berisi kegalauan hati May. Malam itu, sekali lagi May datang ke sana dan menuliskan sesuatu. Namun, kali ini dia tidak kembali ke dalam rumah. Ia memilih untuk menenggelamkan diri di sungai. Dalam suratnya kepada August yang diletakkan di dinding batu, May mengataan bahwa ia sudah lelah dengan dunia ini. Ia yakin Zach baik-baik saja, namun ia merasa sudah waktunya ia bersatu kembali dengan April dan orangtua mereka.

Kegalauan Lily terhadap peristiwa-peristiwa rasial dan dampaknya terhadap orang-orang kulit hitam, dan kenyataan bahwa ia justru menemukan cinta di tengah-tengah komunitas ini membuat Lily memutuskan untuk tetap tinggal di Tiburon, dan menolak saat dijemput ayahnya yang dianggapnya pengecut karena tidak membantu Rosaleen saat ia ditangkap dulu. Namun Lily akhirnya mengetahui dari ayahnya bahwa ibunya tidak meninggalkannya. Ibunya pernah pergi namun kembali lagi untuk menjemput Lily.

Mengapa lebah, mengapa Black Madonna?
Sejak kecil, Sue Monk Kidd telah akrab dengan lebah karena orangtuanya memiliki peternakan lebah. Dan ternyata dari banyak buku yang ia baca, ia menemukan banyak hal menarik. Dulu lebah dianggap sebagai simbol jiwa, kematian dan kelahiran kembali. Ia juga menemukan sebuah himne di Abad Pertengahan yang mengibaratkan Bunda Maria sebagai sarang lebah, dan Yesus adalah madu yang dihasilkan sarang itu. Dan di dalam beberapa cerita, Bunda Maria diibaratkan sebagai ratu lebah.

Black Madonna, Bunda Maria yang berkulit hitam, menjadi simbol revolusi di Polandia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Di sebuah gereja di Yunani, terdapat patung Black Madonna yang dililit rantai. Ada kisah menarik yang dipercaya banyak orang tentang patung ini. Konon, patung ini pernah dicuri orang Turki dan dibawa pulang ke negaranya, namun tidak lama kemudian patung ini tiba-tiba kembali ke gereja tersebut. Orang Turki mencurinya lagi dan kali ini diikat dengan rantai. Namun patung ini kembali ke Yunani dan masih lengkap dengan rantainya.

Sue mengembangkan Black Madonna ini menjadi ibu para budak, yang memberi rasa aman dan memberi inspirasi terhadap kebebasan orang kulit hitam. Saat ditanya mengapa ia menulis tentang wanita berkulit hitam padahal ia berkulit putih, Sue menjawab:

Karena saya tumbuh bersama wanita-wanita berkulit hitam. Saya merasa mereka seperti rumah bangsawan yang tersembunyi di antara kita, dan kita perlu meruntuhkan asumsi lama kita dan menumbuhkan keinginan di dalam diri kita untuk melihat mereka seperti diri mereka sendiri.”

Saya rasa, saya akan membeli bukunya. Bukankah buku selalu lebih indah dari filmnya? Terima kasih Windy, sudah menyarankan saya membaca buku ini.

07
Apr
09

api kecil dalam kegelapan

freedomwritersMalam Minggu, warga Kampung Harmoni nonton bareng di Bale-bale. Bukan nonton sepak bola, tapi lagi kepingin nonton film. Kebetulan ketemu film bagus, judulnya Freedom Writers. Bukan film baru sih, dibuat tahun 2007, tapi kalau belum pada nonton, film ini layak banget buat ditonton.

Film karya sutradara Richard LaGravenese ini merupakan kisah nyata perjuangan seorang guru bahasa Inggris, Erin Gruwell, di Woodrow Wilson Classical High School di Long Beach, California. Di tempat ini pernah terjadi kerusuhan rasial pada tahun 1992 yang menewaskan 55 orang, 2.000 orang terluka, dan 12.000 orang ditahan. Kerusuhan ini meletup akibat pengadilan membebaskan empat orang polisi kulit putih yang menganiaya seorang kulit hitam bernama Rodney King.

Dari lingkungan seperti inilah murid-murid kelas 203 yang diajar oleh Mrs. G, demikian ia dipanggil oleh murid-muridnya, dan diperankan dengan baik oleh Hilary Swank. Di sekolah ini ada program integrasi yang menyatukan murid-murid dari berbagai ras. Di kelas 203, terdapat orang kulit hitam, kulit putih, Latin, dan Kamboja. Mereka memang satu kelas, tapi baik di kelas maupun di luar, mereka tetap berkelompok. Ada beberapa di antara mereka yang menjadi anggota geng. Kekerasan di dalam rumah tangga, kekerasan antar geng, senjata api, menjadi kehidupan mereka sehari-hari.

Awalnya, Mrs. G kesulitan menghadapi murid-muridnya yang diberi stigma “tidak ingin sekolah” oleh guru-guru yang lain. Mereka terbiasa seenaknya, berkelahi di dalam kelas, dan menolak gurunya yang kulit putih. Tidak heran karena murid-murid kulit hitam mengalami diskriminasi oleh orang kulit putih.

Situasi ini tidak menyurutkan niat Erin untuk terus mengajar. Ia berusaha menarik minat murid-muridnya dengan berbagai cara. Ia menyetel lagu-lagu kesukaan murid-muridnya, lalu pelajaran bahasa Inggris pun dimulai dengan membahas lirik lagu tersebut. Keterlibatan Erin semakin total setelah ia mulai mengetahui kehidupan sehari-hari murid-muridnya. Ia lalu meminta mereka menulis buku harian setiap hari. Erin membelikan buku harian itu dari kocek sendiri karena sekolah tidak mau mendukung usahanya dengan alasan usaha Erin tidak ada gunanya. Erin mencari sumbangan komputer sehingga anak-anak dapat mengetik buku harian mereka. Dan kisah-kisah di buku harian ini yang akhirnya menjadi sebuah buku berjudul Freedom Writers yang lalu difilmkan.

Erin juga mengajari mereka perlunya toleransi. Suatu hari, ia mengambil secarik kertas yang dipegang Jamal, seorang muridnya yang berkulit hitam. Ada seorang teman Jamal yang membuat karikatur Jamal dengan mulut besar. Mrs. G menerangkan bahwa hal tersebut tidak benar, ini sikap rasial. Sama seperti ketika dulu orang menggambar orang Yahudi dengan hidung besar. Gambar-gambar itu bersifat melecehkan, menganggap orang yang digambar bukan manusia dan harus dilenyapkan. Dan murid-murid ini terdiam mendengar penjelasan Erin.

Ibu guru Erin lalu mengajak murid-muridnya mengunjungi Museum Toleransi. Ia juga mengusahakan murid-muridnya bertemu dengan para korban Holocaust. Erin juga membelikan mereka buku Diary of Anne Frank, yang sangat disukai murid-muridnya. Efeknya luar biasa. Mereka menyadari bahwa ada orang lain yang mengalami pengalaman yang sama atau bahkan lebih pahit dari mereka. Mereka juga menyadari pertikaian mereka tidak ada gunanya. Mereka lalu memiliki harapan lagi sebagai manusia.

Erin Gruwell, menganggap mereka sebagai manusia yang memiliki martabat. Tidak peduli apa warna kulit mereka, apa ras mereka.

Mengharukan sekali ketika ada seorang anak laki-laki yang hampir tidak pernah berbicara, membacakan buku hariannya. Teman-temannya bahkan tidak pernah tahu siapa namanya. Namun setelah mereka mengetahui kehidupan anak laki-laki ini, mereka mendekati dan memeluknya, bersimpati dengan apa yang ia alami.

Ibu guru Erin meyakinkan mereka bahwa mereka bisa melakukan apa saja, perubahan bukan hal yang tidak mungkin dilakukan. Semua orang bisa selalu menyalakan api kecil di ruang gelap agar menjadi terang.

Anak-anak di kelas 203, menjadi anak-anak pertama di keluarga mereka yang lulus sekolah.

Cintailah anak-anak, maka mereka akan belajar mencintai orang lain. Berilah kasih sayang pada anak-anak, agar mereka juga belajar memberikan kasih sayang, bukan kebencian, pada orang lain.




Blog Stats

  • 21.021 hits
April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Laman